KARYA ILMIAH
" Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi terhadap citra Pendidikan bagi Masyarakat di Indonesia"
" Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi terhadap citra Pendidikan bagi Masyarakat di Indonesia"
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
ARDIAN FADLI ( 111402020 )
PROGRAM STUDI S-1 TEKNOLOGI
INFORMASI
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI
INFORMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
Pengaruh
Perkembangan Teknologi Informasi terhadap citra Pendidikan bagi Masyarakat di Indonesia
Kata pengantar
Puji syukur atas
kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya masih diberi
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada
dosen pengajar dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis
angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin
Medan,
18 April 2013
Penulis
, Ardian Fadli
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Teknologi informasi
mempunyai pengaruh yang besar dalam berbgai aspek kehidupan masyarakat karena
teknologi informasi sudah menjadi bagian dari hidup yang sangat penting. Dunia
pendidikan, pemerintahan, bisnis dan usaha, sampai kesehatan dan kebutuhan
harian masyarakat pun membutuhkan keberadaan informasi dan komunikasi.
Transaksi-transaksi yang
berbasis teknologi informasi sejalan dengan laju pertumbuhan internet. Seiring
dengan maraknya penggunaan internet yang dibutuhkan pengguna, banyak
aplikasi-aplikasi baru bermunculan. Secara khusus hal ini sangat nyata terlihat
dalam kegiatan bisnis, usaha, terutama dalam citra pendidikan.
Citra pendidikan adalah
kesan yang ditimbulkan menurut pengetahuan dan pengertian publik dalam bidang
pendidikan. Hal ini memiliki kaitan yang sangat erat antara masyarakat dan
teknologi informasi.
Dengan perkembangan
teknologi informasi yang tak mungkin dibendung, jenis kebijakan tentang
pendidikanmelalui TV dan film tampaknya perlu dipikirkan dengan benar. Jika
kita meyakini bahwa pendidikanmerupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah
struktur budaya masyarakat, kebutuhan untuk menggunakan media massa seperti TV,
film, internet, dan surat kabar/majalah dalam rangka menjaga proses terjadinya
transplantasi budaya secara benar adalah imperative. Selain itu, kebijakan
tentang jenis tayangan yang salah akan mempercepat terjadinya proses inflitrasi
budaya satu ke budaya lainnya secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya
penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan. Oleh karena itu,
saya akan membahas bagaimana hubungan teknologi informasi dengan citra
pendidikan bagi masyarakat di indonesia.
1.2 rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang
di atas, masalah yang dirumuskan dan akan di bahas dalam makalah ini adalah
hubungan antara masyarakat dengan teknologi informasi dalam bidang citra
pendidikan. Apakah benar hal ini berkaitan, bagaimanakah kondisi citra
pendidikan di indonesia seiring berkembangnya teknologi informasi dan
komunikasi yang semakin maju, dan antisipasi untuk menghindarkan hal-hal yang
negatif dan menggantinya menjadi hal yang positif bagi masyarakat.
1.3 tujuan
adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini, yaitu :
1. Apakah citra
pendidikan di Indonesia berjalan dengan baik?
2. Bagaimana pengaruh
teknologi informasi bagi masyarakat di indonesia?
3. Apakah hubungan
antara teknologi informasi dan citra pendidikan masyarakat di indonesia?
Bab 2
Pembahasan
2.1 citra pendidikan
Salah satu kebutuhan
penting manusia adalah pendidikan, pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang
kehidupan. Tanpa pendidikan, manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan
terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersinergi dengan zaman (bukan
bersaing), manusia pada dasarnya adalah ciptaan Tuhan tanpa persaingan karena
memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik untuk menjunjung tinggi
kehidupan yang damai, bersaudara dan saling kasih mengasihi, dan berkorelasi
antara menolong dan di tolong.
Mempertimbangkan
pendidikan generasi sekarang sama dengan mempersiapkan generasi yang akan
datang. Hati seorang anak (peserta pendidikan) bagaikan sebuah plat fotografik,
kerangka kosong yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang
ditampakkan padanya. Sehingga penting bagi pengajar untuk memahami dan
mendeskripsikan apa yang seharusnya di isikan terhadap peserta didik. Tentunya
dengan platform budi pekerti luhur.
Empat pilar pendidikan
masa depan yang di sunting berdasarkan rancangan UNESCO dan perlu dikembangkan
oleh lembaga pendidikan di Indonesia, Pertama, learning to Know. Konsep pertama
ini diproyeksikan untuk memberikan pemahaman sekedar mengetahui sebagai prospek
pertama kali dalam belajar. atau sekedar mendengarkan, artinya tugas guru lah
yang menyampaikan materi pengajaran dengan benar (fasilitator), tanpa distorsi
materi dan harus memiliki penguasaan yang mapan. Kedua, learning to do. Setelah
konsep pertama tercapai maka beralih pada level yang lebih practically, yaitu
belajar dengan cara mempraktekan apa yang telah di ajarkan dalam konsep pertama
(belajar untuk melakukan sesuatu). dalam hal ini kita dituntut untuk terampil.
Ketiga, learning to be. Pada level ini diharapkan peserta pendidikan mampu
menjadikan dirinya sebagai agent dari generasinya, mampu menelaah fenomena
sekitar dengan mengandalkan pemikiran yang bijaksana. Keempat, learning to live
together. Konsep terakhir ini menawarkan bagaimana peserta didik sudah bukan
lagi dalam tahap menerima, akan tetapi sudah pada tingkatan bermfaat bagi
manusia lainnya.
2.2 teknologi informasi
Pada awal sejarah,
manusia bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi, bahasa
memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain.
Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar
saja, yaitu hanya pada saat si pengirim menyampaikan informasi melalui
ucapannya itu saja. Setelah ucapan itu selesai, maka informasi yang berada di
tangan si penerima itu akan dilupakan dan tidak bisa disimpan lama. Selain itu
jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak tertentu, meskipun masih terdengar,
informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang
sama sekali.
Setelah itu teknologi
penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Dengan gambar jangkauan
informasi bisa lebih jauh. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada
orang lain. Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama. Beberapa
gambar peninggalan zaman purba masih ada sampai sekarang sehingga manusia
sekarang dapat (mencoba) memahami informasi yang ingin disampaikan pembuatnya.
Ditemukannya alfabet dan
angka arabik memudahkan cara penyampaian informasi yang lebih efisien dari cara
yang sebelumnya. Suatu gambar yang mewakili suatu peristiwa dibuat dengan
kombinasi alfabet, atau dengan penulisan angka, seperti MCMXLIII diganti
dengan1943. Teknologi dengan alfabet ini memudahkan dalam penulisan informasi
itu.
Kemudian, teknologi
percetakan memungkinkan pengiriman informasi lebih cepat lagi. Teknologi
elektronik seperti radio, televisi, komputer mengakibatkan informasi menjadi
lebih cepat tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan.
2.3 hubungan teknologi
informasi dalam citra pendidikan dengan masyarakat di indonesia.
Dua pertanyaan penting
yang sedikit terlihat kalut ditunjukkan Mendiknas dalam menanggapi tersebarnya
video porno artis hingga ke ujung negeri. Pertama, Mendiknas tak setuju denganpendidikan
seks dan, kedua, meminta kepada semua kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk
setiap saat merazia isi telepon seluler para siswa karena khawatir dengan
penyebaran video porno. Jelas sekali kedua pernyataan tersebut memperlihatkan
jenis pendekatan yang reaktif seorang menteri ketimbang proaktif. Di tengah
ketidakmampuan birokrasi dan para guru kita dalam mendesain dan mengajarkan
dokumen tertulis kurikulum secara benar, kasus video porno jelas merupakan
peringatan terhadap jajaran Kemendiknas untuk lebih inovatif dan kreatif dalam
mendistribusi kebutuhan virtue terhadap setiap mata ajar yang dipelajari siswa
di sekolah.
Keruntuhan citra
pendidikan
Jelas sekali beredarnya
video porno artis merupakan tamparan hebat terhadap citra pendidikan di Tanah
Air. Tak tahu di mana mereka dulu bersekolah, jika memang benar pelakunya
adalah artis yang diduga ternama. Hal itu menunjukkan adanya sikap hidup
hedonis dan rendahnya moralitas artis akibat pendidikan yang salah bisa jadi
merupakan salah satu penyebab. Artis, melaui teknologi informasi, bukan saja
menjadi faktor pendorong runtuhnya moralitas anak muda, melainkan sekaligus
merupakan korban dari arus teknologiinformasi yang tanpa kontrol.
Meskipun kita telah
memiliki undang-undang tentang pornografi dan teknologi informasi, paradigma
perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan
tayangan televisi dan peredaran film jelas harus dicermati secara saksama oleh
para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan
massal paling efektif, tayangan televisi, film dan penggunaan internet memiliki
peluang untuk mengubah tatanan budaya bangsa yang dikenal santun dan beradab ke
arah yang kurang beradab dan tak mengenal tata krama. Dighe (2000)
mengisyaratkan baik konten maupun rancangan program tayangan dalam bentuk film,
video, dan musik bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas
budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik.
Hasil riset menunjukkan
dampak tayangan televisi, film, dan penyebaran video porno melalui internet
juga menambah terjadinya praktik kekerasan, mistisisme, dan hura-hura ala
sinetron. Bahkan jika semua fakultas psikologi di Indonesia mau dengan sukarela
meriset kondisi mental siswa-siswi di sekolah, pastilah akan didapati banyak
sekali anak usia sekolah yang mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam
bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan
yang terlalu memamerkan kekerasan dan erotisme sangat tidak mendidik dan dapat
menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi,
bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah ke arah yang tidak
sehat (Bennet: 2000; Gidley: 2000). Ketika zaman televisi masih dimonopoli
TVRI, mungkin peran pendidik (gurudan orang tua) tak terlalu berat dan
melelahkan. Di samping jenis tayangan memang masih terbatas, bentuk tayangan
juga masih mempertimbangkan aspek budaya lokal tiap daerah di Indonesia.
Tayangan Si Unyil, drama Losmen, dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) begitu digemari
dan menjadi rujukan para guru di sekolah dan orang tua di rumah.
Dapat dibayangkan betapa
berat dan sulitnya para guru dan orang tua untuk berlomba kreativitas dengan
tayangan elektronik ini.
Karena itulah, beberapa
hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi
terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses
belajar-mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills
seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning. Jika hal itu lalai
dibangun, keruntuhan citra pendidikan di Indonesia akan semakin menjadi-jadi;
tidak hanya kerusakan di bidang akademis, tetapi dalam waktu bersamaan juga
terjadi kerusakan moral secara masif.
Memanfaatkan budaya
populer
Adalah naif dan tidak
mungkin rasanya menolak budaya populer dan trend setter gaya hidup serbahedonis
yang setiap hari secara terbuka ditayangkan dalam bentuk film, musik, video,
dan komik/majalah. Yang paling mungkin dilakukan adalah menghidupkan kesadaran
kritis para pendidik untuk memaksimalkan bentuk-bentuk tayangan tersebut
sebagai tools dalam proses belajar-mengajar. Keberanian untuk menggunakan
berbagai macam jenis tayangan sebagai bahan ajar juga harus dikembangkan
sedemikian rupa, bahkan termasuk mendiskusikan hal-hal yang tabu seperti
masalah seks dan kekerasan. Harus kita yakini bahwa tayangan baik dalam bentuk
film, video, musik, maupun komik atau fiksi terpilih dan pantas secara sadar
harus mampu digunakan para guru dalam proses belajar-mengajar. Ada banyak film
semisal Pay It Forward atau Freedom Writers yang layak diputar dan didiskusikan
di ruang kelas dengan anak-anak kita yang sedang beranjak dewasa (tingkat
menengah).
Sebagai salah satu
bentuk pedagogis bergerak yang secara langsung dapat merefleksikan dunia nyata,
film dapat merangsang siswa untuk mendiskusikan banyak sekali isu tentang ras,
kelas, gender, kekerasan, dan orientasi seksual manusia. Karena itu,
menggunakan film sebagai salah satu bahan ajar merupakan jawaban bagi para
siswa yang menggemari budaya populer, tetapi dilakukan secara terbimbing di
ruang kelas. Jika hal itu dilakukan, biasanya siswa akan terlihat berani untuk
menganalisis isi film dari beragam perspektif, bahkan bisa jadi mereka memiliki
pandangan-pandangan yang unik menurut pengalaman masing-masing. Diskusi film
selalu merupakan cara yang efektif untuk melihat reaksi siswa dalam menyikapi
sebuah peristiwa dan mengambil virtue yang secara kolektif biasanya akan lebih
mudah dilakukan (Sealey: 2006).
Kebiasaan dan perilaku
melarang para guru terhadap siswa untuk tak melihat film dan video sebenarnya
lebih akan membuat siswa penasaran. Tetapi jika itu dilakukan secara
bersama-sama dengan guru dan teman mereka, proses berpikir kritis pun akan
terlatih. Yang paling baik adalah kemauan guru untuk melakukan browsing bersama
siswanya dalam mencari film dan video pembelajaran melalui Youtube.com,
misalnya. Jutaan film setiap hari dirilis ke dalam Youtube.com, tetapi jika hal
itu diniatkan sekaligus digunakan untuk tujuan pembelajaran, bisa dipastikan
anak-anak akan senang untuk berbagi perspektif. Apalagi jika guru lebih
kreatif, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter bahkan bisa dijadikan
sebagai medium e-learning yang dikemas untuk pola belajar tak langsung atau
jarak jauh (distance learning). Hanya, pertanyaannya, berapa banyak guru yang
bisa dan mau memanfaatkan teknologi informasi sebagai bahan ajar?
Gardner (2007)
mengingatkan para pendidik bahwa siswa perlu dibina dan dikembangkan untuk
menghadapi arus besar teknologi informasi dengan multimodal literacy skills
yang sangat krusial untuk kehidupan abad 21.
Karena itu, kemampuan
guru dalam penguasaan teknologi informasi juga merupakan tuntutan yang tidak
bisa dihindarkan dalam kebijakan pendidikan kita. Selain itu, dalam rangka
mengimbangi budaya populer yang semakin menggila, sekolah perlu dilengkapi
dengan perpustakaan digital yang mampu mengakses jutaan sumber belajar yang
berserakan di dunia maya. Masalah baru yang muncul dan dihadapi
otoritaspendidikan kita adalah mahalnya perangkat digital sekolah dan sulit dan
lamanya melatih guru untuk melekteknologi informasi.
Belum lagi tantangan
dari cara pandang tradisional yang masih menganggap teknologi informasi sebagai
bentuk berhala baru dan karena itu, sedapat mungkin harus dihindari. Sikap
mental guru/pendidik seperti itu malah tidak akan menguntungkan dunia
pendidikan kita. Karena itu, dibutuhkan mentalitas dan kapasitas akademis guru
yang selalu ingin belajar, terutama dalam membina sisi afektif dan psikomotorik
siswa-siswi mereka. Apalagi saat ini juga berkembang sebuah pendekatan baru
dalam mengajar yang diperkenalkan Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam buku
Meeting Standards through Integrated Curriculum (2004), yaitu transdisciplinary
approach. Transdisciplinary approach membutuhkan keterampilan guru yang luar
biasa untuk memandang dan mengajarkan sebuah subjek berdasarkan tema, konsep,
sekaligus keterampilan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan minat siswa.
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa citra pendidikan di Indonesia kurang berjalan dengan
baik. Hal itu ditunjukkan dari banyaknya masyarakat muda maupun tua yang
terjerat pergaulan yang kurang baik atau dapat dikatakan pergaulan bebas. Jika
citra pendidikan di indonesia sudah baik, pengaruh negatif yang di timbulkan
dan di buat oleh media-media informasi seperti radio, TV, ponsel, dan
sebagainya tidak akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Apalagi
kini jaman semakin maju dengan adanya jaringan internet. Ditambah lagi maraknya
video-video porno yang tersebar bahkan dari kalangan masyarakat Indonesia
seperti video porno artis yang telah tersebar luas bukan hanya di negeri
sendiri saja.
Namun sebetulnya
pengaruh teknologi informasi bagi masyarakat di indonesia ini sudah cukup baik.
Hanya saja ada sisi lain ada hal yang dijadikan sesuatu yang negatif oleh
sebagian masyarakat terutama anak muda yang emosional dan asupan pendidikannya
masih labil.
Hubungan antara
teknologi informasi dan citra pendidikan masyarakat di indonesia sangat erat.
Tanpa teknologi informasi masyarakat tak akan bisa hidup dengan nyaman dan
pendidikan pun tidak akan berjalan dengan lancar karena kini hampir semua hal
membutuhkan teknologi. Hanya saja tergantung kita menyikapinya, bagaimana kita
dapat mengontrol diri kita sendiri untuk mempergunakan teknologi yang ada
dengan positif dan agar citra pendidikan kita pun terjaga dengan baik.
3.2 saran
·
jagalah citra pendidikan kita sendiri jangan smpai terbawa oleh pengaruh
negatif dari teknologi informasi yang semakin canggih.
· Berpikirlah
positif agar sebanyak apapun pengaruh yang di timbulkan oleh teknologi
informasi ini bisa di jadikan pelajaran berharga bukan sebagai acuan kita untuk
berbuat hal yang sama.
· Hindarilah
sebisa mungkin hal-hal yang negatif dari teknologi informasi yang semakin maju
ini agar citra pendidikan kita ataupun masyarakat di indonesia tidak rusak.
Daftar pustaka